AKTIVIS Lembaga Gemawan Kalimantan Barat, Agus Soetomo mengatakan, harga CPO yang membumbung tinggi membuat para investor berlomba-lomba ekspansi tanah demi keuntungan bisnis yang menguntungkan para pengusaha.
Hanya saja, kata Tomo, krisis minyak goreng tetap berlangsung diseluruh tanah air. Selain itu juga memicu krisis pangan, sosial, lingkungan yang diakibatkan perubahan pola hidup petani.
“Krisis minyak goreng hanya ditutup dengan subsidi. Pemerintah bukannya mengeluarkan kebijaksanaan yang mampu menekan pihak perusahaan agar lebih mengutamakan kebutuhan masyarakat, tapi sebaliknya,” kata Tomo, kepada Pontianak Post, kemarin.
Kata Tomo, bukti nyata bahwa perusahaan perkebunan hanya mementingkan keuntungan semata adalah pemberlakuan sistem otoriter dan feodal.
“Buruh acap kali dieksploitasi tenaga dalam penanaman, pemeliharaan, penuaian sampai proses pengolahan. Ini sistem produksi yang melahirkan penindasan baru,” kata Tomo mengkritik. Proses pengembangan di salah satu perkebunan, kata Tomo, telah terjadi perampasan tanaman produktif masyarakat. Bahkan, katanya, semua pembukaan perkebunan baru.
“Penggusuran perkuburan, perusakan hutan masyarakat dan hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung oleh negara. Bagi buruh dan petani plasma hanya memperoleh upah murah, kesejahteraan buruh tidak ada, diskriminatif terhadap buruh perempuan, monopoli pekerja di bawah umur terjadi,” katanya miris.
Semua itu, kata dia, tak ada tindakan tegas pemerintah bersama para penegak hukum. Sebaliknya, kata Tomo, jika masyarakat tani dan buruh menuntut haknya maka pemerintah dan penegak hukum dengan sigap menghajar, menangkap bahkan tak segan-segan menghabiskan nyawa masyarakat sendiri demi kepentingan yang berlindung dibalik hukum.
“Sia-sia menyerahkan kekayaan bumi dan isinya kepada investor yang telah menciptakan multikrisis di Indonesia. Sementara masyarakat tani, buruh dan masyarakat hidup dalam serba kekurangan,” ujar Tomo.
Diakui Tomo, harga crude palm oil (CPO) di pasar dunia membuat para investor berlomba-lomba menanam sawit. Fenomena ini disebut, kata dia, sebagai peluang sangat besar bagi Pemerintah Indonesia mewujudkan negara penanam sawit terbesar di dunia, dengan target lahan 20 juta hektar pada tahun 2020. “Ini juga peluang emas bagi investasi perkebunan sawit yang telah menjarah hutan, tanah produktif masyarakat seluas delapan juta hektar di seluruh Indonesia,” kata Tomo. (zrf)
Sumber: www.pontianakpost.com, Sabtu, 22 Maret 2008