Kebijaksanaan itu kemudian diperkuat dengan landasan belale, yang berarti gotong-royong dalam bahasa Sambas.
Penulis: Laili Khairnur dan Mohammad Reza (Gemawan)
Segalanya saling terhubung. Alam dan seisinya saling berinteraksi dan berkomunikasi. Bencana alam hingga pandemi merupakan cara alam berinteraksi dengan segala rupa isinya. Alam memiliki premisnya sendiri untuk berbicara dengan manusia. Dari peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, puting beliung (yang selama ini kita sebut sebagai bencana alam) merupakan cara alam bereaksi berdasarkan hukum alam.
Menurut Peter Dazak, ahli ekologi penyakit, 70 persen penyakit yang baru muncul pada manusia merupakan zoonosis. Diantaranya karena patogen jenis tertentu yang tidak berpengaruh pada hewan bisa membawa dampak besar pada manusia. Kemunculan zoonosis juga diakibatkan oleh kerusakan lingkungan dan deforestasi yang menyebabkan hewan-hewan kehilangan habitat aslinya. Sehingga dalam beberapa hal, pandemi bisa kita letakkan sebagai pengingat kita bersama bahwa alam dan isinya ini cukup kompleks. Manusia juga bukan pusat semesta. Solusi berbasis keadilan ekologis menjadi cara yang perlu kita garis bawahi bersama.
Baca juga: Pelestari Kehidupan: Sebuah Kompilasi Situated-Knowledge dari Tingkat Tapak
Di sisi lain, pandemi tentu mengubah ruang gerak kerja pengorganisasian di tingkat tapak. Dari pertemuan fisik yang digeser menjadi percakapan daring. Pertemuan rutin dengan kelompok perempuan dilakukan untuk saling berbagi kisah dan kondisi semasa pandemi, diantara keterhimpitan dan keberdayaan yang muncul.
Perempuan: Pewaris Kebijaksanaan
Pandemi juga menggiring perhatian kita pada ketersediaan pangan. Dalam bahasa Sambas, umme berarti ladang atau lahan pertanian. Umme dijadikan sumber makanan pokok, yakni beras.
Kaum perempuan merupakan kelompok penting dalam aktivitas produksi pangan ini. Selain itu, aktivitas perempuan juga diisi dengan kegiatan menganyam dan menenun. Aktivitas pertanian ini juga bisa ditempatkan sebagai ruang publik. Melalui aktivitas ini masyarakat bertemu dan terutama kaum perempuan, saling berbagi kisah dan keluh kesah.
Baca juga: Diskusi Buku Hidup Bersama Raksasa: Laporan Hasil Riset 5 Tahun tentang Dominasi Perkebunan Sawit
Dari diskusi tersebut, muncullah upaya-upaya bersama, yang memfokuskan pada setidaknya tiga hal yakni; penguatan ketersediaan pangan dengan meningkatkan tanaman sayur dan umbi di sekitar rumah maupun ladang, membangun solidaritas dengan sistem barter, membantu penjualan sesama anggota kelompok dengan metode daring.
Dari dinamika tersebut, dalam situasi krisis, manusia sesungguhnya sedang mengambil pelajaran dari alam, dari tanah dan seisinya. Di konteks ini, masyarakat sedang belajar dari umme, sebagai aktivitas pertanian dan kolektif yang tidak semata produktif dalam menyediakan sumber makanan pokok, namun juga ruang temu antar masyarakat. Kebijaksanaan itu kemudian diperkuat dengan landasan belale, yang berarti gotong-royong dalam bahasa Sambas.
Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).
Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.
Sumber: Rilis pertama kali di laman Civica.id dengan judul Kebijaksanaan dalam Himpitan Krisis: Belajar dari Umme dan Belale.